Jurnal Ksatria Kastil
09 April 2008
  SKP: SIAPKAH KITA?
Istilah SKP mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, teman-teman mahasiswa FK. Tetapi apakah kita sebenarnya sudah benar-benar mengerti mengenai SKP tersebut? Sebenarnya apa itu SKP? SKP, atau Satuan Kredit Partisipasi, secara singkatnya mungkin bisa dikatakan sebagai semacam ‘poin’ yang dikumpulkan untuk mendapatkan Sertifikat Kompetensi dari IDI.

Lalu apa pentingnya Sertifikat Kompetensi ini? Untuk lebih jelasnya, coba kita lihat dulu Undang-undang yang mendasarinya yaitu, Undang-undang Praktik Kedokteran. Dalam UUPK ini terdapat pembahasan mengenai status SIP (Surat Ijin Praktek), STR (Surat Tanda Registrasi), dan juga SKP.

Dalam UUPK No.29/04 disebutkan bahwa untuk mendapatkan SIP, dokter harus memenuhi syarat sebagai berikut : mempunyai STR, mempunyai tempat praktik, dan mempunyai Surat Rekomendasi dari Organisasi Profesi (IDI).

Sedangkan untuk mendapatkan STR (masih dalam UUPK No.29/04; vide ayat3), dokter harus memenuhi syarat: memiliki ijazah dokter, mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah dokter, memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental, memiliki Sertifikat Kompetensi, dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Peran SKP sendiri tersirat dalam pasal 51 UUPK No.29/04 poin e, yang berbunyi, “..dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.”

Terdengar rumit, ya? Singkatnya seperti ini, agar seorang dokter bisa memperoleh ijin praktek, ia harus memiliki salah satunya STR. Sementara untuk mendapatkan STR ini, salah satu syaratnya adalah memiliki Sertifikat Kompetensi. Sebagaimana sudah disinggung di atas, Sertifikat Kompetensi ini dikeluarkan oleh IDI setelah seorang dokter berhasil memenuhi SKP tertentu. Bagaimana cara mengumpulkan SKP? Salah satunya, SKP dapat dikumpulkan melalui pelatihan-pelatihan dan kegiatan ilmiah seperti symposium dan kongres-kongres kedokteran.

Wah, sulit juga ya menjadi seorang dokter. Apa sih sebenarnya tujuan diberlakukan sistem seperti ini? Dengan adanya SKP, diharapkan akan lahir generasi dokter-dokter yang melakukan “long-life learning” sehingga kompetensi dokter semakin tinggi, malpraktik dapat diminimalisasi, dan kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran kembali membaik.

Secara idealis dan teoritis, SKP adalah suatu konsep yang revolusioner dan sangat baik. Namun, sudah siapkah Indonesia dengan segala aspeknya untuk menerimanya? Apa dengan seperti ini kualitas pelayanan ksehatan benar akan meningkat? Bagaimana pula nasib dokter-dokter di daerah terpencil yang mungkin tidak bisa mengikuti banyak simposium-simposium di daerah kota? Terlebih, apa benar SKP dapat menjamin tujuannya apabila individunya sendiri masih belum siap? Malah, ada sedikit selentingan sarkas yang terdengar: “Apa dokter tidak seperti mengejar setoran poin saja?”.

Mungkin sekarang kita tidak bisa benar-benar menjawab pertanyaan tersebut secara berimbang. Masih terlalu banyak aspek yang mungkin terlewat untuk dibicarakan, dan juga masih banyak waktu sampai kita bisa benar-benar merasakannya. Untuk sekarang, yang bisa kita perbuat hanyalah belajar sebaik mungkin, agar nantinya kita bisa benar-benar menjadi seorang dokter yang baik. Amin!

Nanda Fadhita & I W. Andrew Handisurya
Kajian Strategis Ilmiah Senat Mahasiswa FK Unpad 2007-2008

 
  Mahasiswa Unpad atau Mahasiswa FK?
Ada sedikit hal yang menggelitik benak kami sejak awal masa kepengurusan Senat Mahasiswa. Hal ini berkenaan dengan fenomena di sekitar, ketika memperhatikan respon berbeda pada pertanyaan sama yang diajukan pada beberapa mahasiswa dari beragam universitas. “Kamu kuliah dimana?”

“Saya kuliah di ITB,” rekan mahasiswa dari Teknik Kimia atau Biologi mungkin akan menjawab hal yang sama.

“Kalau saya dari Fikom.”

“Saya dari FK.” Padahal keduanya dari Unpad.
Kenapakah? Kajian kami menyimpulkan kemudian: kita telah dan sedang mengalami krisis sense of belonging yang kronis.

***


Mendalami dunia kemahasiswaan, maka untuk mencari contoh riil dari topic di atas tak akan kami ambil jauh-jauh selain dari dunia yang kami geluti ini. Yap, kami rasa permasalahan sense of belonging ini juga cukup kental terasa dalam dunia kemahasiswaan.Kalau tadi antara FK dan Unpad secara umum, maka kini antara Kemahasiswaan (BEM) Unpad dan Kemahasiswaan (Senat Mahasiswa) Fakultas Kedokteran Unpad.

Hal ini semakin kuat mengusik perhatian kami terutama saat isu Pemilu Raya Mahasiswa menjadi sedemikian kental belakangan ini. Kami ingin mensosialisasikannya tapi, satu pertanyaan muncul: Akankah teman-teman mahasiswa FK Unpad lain akan menganggap ini hal yang cukup penting dibandingkan learning issue untuk case baru? Lebih jauh lagi, kami juga bertanya pada diri kami sendiri, benarkah ini benar-benar penting?

Permasalahannya adalah bahwa BEM Unpad telah lama ada, namun tak terasa keberadaannya. BEM Unpad punya banyak program dan rencana, tapi tak terasa pengaruh dan manfaatnya hingga ke FK. Sekian kali pemilihan raya mahasiswa, dan sekian kali pula mahasiswa FK menjumpai hal serupa. Jadi untuk apa ikut memilih? (Begitu kan yang ada di benak mayoritas teman-teman; kami menganalisis dan menduga saja.) Meski tak bisa dipungkiri bahwa rekan-rekan di BEM Universitas pun terlanjur punya stigma tertentu untuk aktivis FK: elitif, individualis, jago kandang, sibuk. Benar?

Ini masalah; dan saat kita menjumpai masalah kita tidak mungkin diam saja dan pura-pura tidak tahu, bukan? Kita adalah mahasiswa dan mahasiswa punya peran luar biasa besar sebagai agen pengubah, bagian dari solusi. Lalu apa solusi yang bisa kami tawarkan? Kami memutuskan untuk mencari tahu terlebih dahulu sebetulnya seperti apa peran ideal sebuah BEM di tingkat universitas; dan tentu saja seperti apa seharusnya sebuah Senat Mahasiswa tingkat fakultas memosisikan diri.

Seorang rekan dari FK UGM yang kami jumpai saat kunjungan studi banding BEM FK UGM ke SEMA FK Unpad dan sekaligus dia juga hadir pada Padjadjaran Medical Fair Februari lalu bercerita tentang kondisi BEM universitas dan fakultas di tempatnya. Ternyata, sama seperti kita, BEM UGM tidak membawahi BEM fakultas; ia hanya berfungsi sebagai coordinator. Tapi fungsi koordinasi ini berlangsung penuh; berlangsung optimal, dan BEM FK UGM pun merasakan kemudahan berinteraksi dengan BEM-BEM fakultas lain berkat keberadaan BEM UGM. Salah satu bentuk kegiatan yang menarik, adalah adanya forum kajian bersama fakultas lain untuk menyikapi isu tertentu yang berkaitan. Misalnya, kajian tentang manajemen kesehatan kerja antara BEM Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ekonomi yang dikoordinir oleh BEM universitas, atau kajian bersama yang dihadiri semua fakultas membahas kelangkaan beras sehingga mereka bisa langsung mendengar penjelasan dari Fakultas Pertanian.

Lalu bagaimana? Kami sudah mencoba mungusulkan format ini pada pihak yang berwenang di tingkat universitas. Tentu kami percaya, kalau UGM bisa mewujudkannya, tidak mungkin Unpad tidak bisa. Dan Pemilihan Raya Mahasiswa mungkin bisa menjadi satu jalan masuk menuju ke sana. Akan ada pemimpin baru mahasiswa di kampus kita. Dan kita tunggu, apa salah satu dari ketiga calon—siapapun yang terpilih—akan mampu membuat perubahan, dan menjadikan BEM Unpad lebih berarti bagi mahasiswa FK.
Karena kita bukan sekadar mahasiswa FK; tapi mahasiswa FK Unpad.

Almira Aliyannisa
Kajian Strategis Ilmiah Senat Mahasiswa FK Unpad 2007-2008
Hasil Kajian Internal KASTIL Maret 2008.
 

Arsip
September 2007 / November 2007 / Maret 2008 / April 2008 /


Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]